Usah Resah (Chapter 5)

“Aakk!”

Gia ketakutan karena menyangka Deva yang memergokinya, jadi dia menutup mata saat tubuhnya tiba-tiba digendong seperti pengantin. Sampai akhirnya dia mendengar suara yang tidak pernah didengarnya.

“Kamu mau kabur ke mana, Cantik?”

Gia lalu membuka matanya, dan seorang pemuda bermata cokelat muda tersenyum menatapnya.

“Halo!” sapa pemuda bermata cokelat muda itu dengan ramah. “Kamu Gia, kan?”

Gia terdiam beberapa detik sampai akhirnya dia tersadar dan panik melepaskan tubuhnya dari gendongan si pemuda bermata cokelat muda itu. Sialnya, tubuh Gia limbung karena terburu-buru turun. Gia pun jatuh terperosok di atas rerumputan.

“Aduhhh…”

“Kamu nggak papa?” tanya si pemuda bermata cokelat muda itu sambil menahan tawa. Kemudian dia menjulurkan tangannya. “Sini, aku bantu berdiri.”

Wajah Gia memerah menahan malu dan menahan sakit. Tapi, mau tidak mau, Gia akhirnya menerima bantuan pemuda bermata cokelat muda itu. Sambil membersihkan lengan dan kakinya dari noda tanah dan rumput, Gia memperhatikan sekilas sosok pemuda bermata cokelat muda itu. 

Selain tampak ramah, wajah pemuda bermata cokelat muda itu ternyata sangat tampan dan dihiasi lekuk kecil di pipi kanan saat tersenyum. Alisnya tebal dan hidungnya mancung. Matanya sedikit sipit, dan warna kulitnya sedikit lebih putih dari Deva. Sementara badannya tinggi semampai. 

Namun, pertanyaan yang paling utama: Siapa dia? Gia tidak pernah melihat pemuda bermata cokelat muda itu sebelumnya. Dia juga tidak merasa pernah melihat pemuda bermata cokelat muda itu di hari pernikahannya dengan Deva. Sementara Deva juga tidak cerita kalau akan ada tamu yang datang ke rumahnya hari ini.

“Aku Keano Adhikara,” ucap pemuda bermata cokelat muda itu seakan bisa membaca isi pikiran Gia. “Kamu bisa panggil aku Kean.”

Adhikara? gumam Gia dalam hati. Itu berarti dia ada hubungannya sama Deva?

“Aku sepupunya Deva,” kata Kean, seakan kembali menjawab pertanyaan di kepala Gia.

“Kamu bisa baca pikiran ya?” tanya Gia dengan tatapan curiga.

Kean tertawa geli, dan lesung pipinya terlihat semakin dalam. Kemudian dia mendekatkan wajahnya hingga setara dengan wajah Gia.

“Aku nggak bisa baca pikiran, tapi kamu seperti buku yang terbuka di mataku,” ucap Kean dengan sinar mata yang jail. 

Gia yang masih trauma dengan perlakuan Deva di Filipina kemarin refleks mendorong Kean agar menjauh darinya. Sementara Kean hanya tersenyum dengan makna yang tidak bisa terbaca.

“Lebih baik kita bersihkan luka kamu sebelum Deva pulang,” kata Kean sambil berbalik ke arah rumah Deva. “Deva bisa marah kalau tahu istrinya terluka.”

Kean berjalan menuju pintu rumah Deva, sementara Gia diam di tempatnya sambil menatap ragu ke punggung Kean yang semakin jauh darinya. 

Sebenarnya Gia bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk kabur dari rumah Deva. Dia sudah berada di luar rumah, dan dia hanya perlu membohongi satu satpam yang menjaga pintu gerbang sebelum akhirnya bisa melarikan diri. Namun kehadiran Kean membuat situasi yang Gia hadapi semakin sulit. Dia tidak bisa dengan mudah melarikan diri dari dua pria berbadan besar itu.

Dengan berat hati Gia pun mengikuti Kean masuk kembali ke dalam rumah Deva.

Tau gini aku nggak usah susah-susah turun balkon tadi, batin Gia dengan kepala tertunduk.

***

Gia duduk di sofa sambil memperhatikan Kean yang sibuk membongkar kotak P3K yang dia temukan di bawah meja TV.  Dari belakang, sosok Kean sedikit mengingatkan Gia dengan Deva. Bedanya, punggung Deva lebih lebar dan badan Deva sedikit lebih tinggi dari Kean.

Setelah menemukan yang dia butuhkan untuk mengobati luka Gia, Kean menghampiri Gia di sofa dan duduk di sampingnya.

“Kamu sudah bersihin luka-lukanya dengan air, kan?” tanya Kean yang Gia jawab dengan anggukan. “Oke. Sini, aku obatin.” 

Kean menjulurkan tangannya untuk meraih lengan Gia, tapi Gia menghindar. 

“Kenapa?” tanya Kean bingung.

“Nggak papa. Aku obatin sendiri aja,” kata Gia sambil meraih botol alkohol dan kapas di tangan Kean. “Aku bukan anak kecil.”

“Ini lukanya di siku. Susah kalo diobatin sendiri,” ujar Kean sambil merebut kembali botol alkohol dan kapas di tangan Gia. “Luka yang lain silakan kamu obatin sendiri.”

Malas berdebat, Gia akhirnya membiarkan Kean mengobati luka di siku kanannya. Untungnya, Kean menepati kata-katanya. Setelah mengobati luka di siku kanan Gia, Kean membiarkan Gia mengobati luka-luka lain di tubuhnya sendiri.

“Kenapa kamu mau kabur dari rumah ini, Gia?” tanya Kean setelah Gia selesai mengobati lukanya. “Kamu nggak suka tinggal di sini?”

Gia tidak menjawab pertanyaan Kean karena dia menyadari sesuatu. Wajahnya lalu berubah pucat, dan jantungnya langsung berdebar kencang.

“K-kok kamu tahu namaku?” tanya Gia gugup. 

Kean tersenyum kecil.

“Oma memberikan foto Deva dan calon istrinya di grup keluarga sambil memberikan undangan pernikahan Deva,” kata Kean seraya merapikan isi kotak P3K. “Tapi, di hari pernikahan, wajah pengantin wanitanya berbeda. Jadi aku mencari tahu kamu siapa.”

“Apa semua orang di grup keluarga kalian juga menyadari itu?”

Gia semakin panik, tapi Kean malah kembali tersenyum. 

“Grup keluarga kami sama sepinya dengan kuburan di malam hari. Semua orang sibuk dengan bisnis masing-masing. Bahkan, saking sibuknya, nggak ada satu pun keluarga yang datang ke pernikahan Deva termasuk aku. Jadi, kamu tenang saja. Nggak ada yang curiga melihat wajah pengantin wanitanya sedikit berbeda dengan yang sebelumnya.”

Mendengar itu, Gia akhirnya bisa mengembuskan napas lega.

“Jadi, apa yang membuat kamu berakhir menjadi istri Deva dan mau kabur dari sini?” tanya  Kean sambil menatap Gia. “Apa kamu nggak suka dengan pernikahan bisnis ini?”

Gia menghela napas panjang sebelum akhirnya menceritakan semuanya ke Kean. Walaupun dia baru mengenal Kean, dia memutuskan untuk jujur dengan pemuda bermata cokelat muda itu. Lagipula, Kean bisa dengan mudah mengetahui siapa dirinya. Percuma membohongi Kean.

***

“Jadi, selama adik kamu belum ditemukan, kamu ditahan di rumah ini?” tanya Kean setelah Gia mengakhiri ceritanya.

Gia mengangguk lemah. “Sepertinya begitu.”

“Dan kamu baru saja diputusin sepihak sama pacar kamu?”

Gia kembali mengangguk lemah sementara Kean tertawa. “Pantas kamu mau kabur.”

“Menurut kamu, apa yang harus aku lakukan untuk menemukan Feya?” tanya Gia setelah Kean selesai tertawa. “Aku sebenarnya ingin menolong Papi, tapi aku nggak mau menjadi tahanan di sini. Kalau Feya ditemukan, satu masalahku akan selesai. Aku tinggal menemukan cara untuk menyelesaikan sisa masalahku yang lain.”

Kean tersenyum, tapi ekspresinya seperti merasa bersalah. “Maaf, Gia. Sepertinya aku nggak bisa membantu kamu.”

“Kenapa?” Gia tampak kecewa. “Bukannya kamu bisa dengan mudah menemukan identitasku? Kamu pasti bisa dengan mudah menemukan Feya.”

“Itu benar,” ujar Kean. “Masalahnya, aku sepupu Deva. Aku nggak mungkin mengkhianati saudaraku sendiri.”

Pundak Gia langsung turun. Sepertinya dia akan selamanya terkurung di istana emas ini.

“Tapi, kamu tenang aja, Gia. Aku janji, aku akan menolong kamu kalau Deva membuat kamu kesal,” ucap Kean. “Jadi kamu nggak usah resah soal Deva. Aku akan melindungi kamu dari sepupuku yang menyebalkan itu.” 

“Oh ya?”

Mendengar suara itu, Gia mendadak kaku di tempatnya. Deva sudah pulang!

Deva menghampiri Kean yang berdiri menyambutnya dengan senyum lebar. Sementara Gia langsung sembunyi di balik sofa. 

“Hai, Bro!” Kean menepuk pundak Deva yang menatapnya sinis. “Kok lo udah pulang? Bolos kerja?”

“Perasaan gue nggak enak tadi. Ternyata firasat gue bener,” seru Deva ketus. Lalu dia duduk di sofa dan menatap tajam Kean. “Lo ngapain di sini?”

“Oma nyuruh gue ke sini,” kata Kean tenang seraya duduk di samping Deva. “Dia minta gue jadi asisten lo dan tinggal menemani lo di sini.”

“Oma nggak bilang apa-apa sama gue.”

“Mungkin Oma lupa. Tau sendiri kan, kalau Oma sekarang mulai pikun?”

Deva mengembuskan napas kesal. Tidak ada yang bisa dia lakukan kalau kehadiran Kean di rumahnya adalah perintah dari Kemala. 

“Terus, kamu ngapain sembunyi di belakang sofa, Gia?!” seru Deva sambil menoleh ke belakang sofa.

Jantung Gia pun berhenti berdetak. Detik itu dia ingin lantai yang diinjaknya terbuka dan dia ditelan ke dalamnya. Mati deh aku!

***