Mungkin Takdir (Chapter 2)

Danilla dan Langit masih saling melihat satu sama lain tanpa peduli beberapa teman lain yang ada di belakangnya. Mereka berdua pernah menjalin hubungan saat SMA, selama dua tahun. Danilla memutuskan Langit terlebih dahulu sesaat sebelum Langit berdebat dengan bapaknya karena tidak ingin masuk akademi TNI AD. Langit melakukan itu karena tidak mau jauh dari Danilla. Tetapi, Danilla telah memutuskan hubungan sepihak, lalu pergi ke Surabaya untuk melanjutkan kuliah kedokterannya.  Langit pun terpaksa menerima keinginan bapaknya yang ingin dia masuk TNI AD. 

 

“Selamat sore, dokter Danilla. Saya kapten Langit, yang ditugaskan untuk menjemput dokter Danilla dan teman-teman.” Langit mengucapkan kalimat itu dengan tegas dan berusaha menyembunyikan wajah kecewanya. Sementara, Danilla seperti sudah mengerti mengapa sikap Langit seperti itu. 

 

“Baik, terima kasih. Saya bersama dokter Berry dan dokter Indy.” Danilla sama membalasnya dengan tegas. Langit pun mengangguk dan mempersilakan mereka bertiga untuk ke mobil jeep yang sudah dibawanya.  

 

Ketiga sahabat itu duduk di jok tengah. Danilla duduk tepat menyilang dengan Langit yang berada di sebelah kursi pengemudi. Danilla hanya dapat memandanginya dari belakang dengan sendu. Sementara, Indy dan Berry diam-diam saling pandang dan ingin mengetahui apa yang terjadi antara Langit dan Danilla. 

 

Ketika mereka semua tiba di mess yang tampak seperti balai serbaguna warga, Langit hanya buru-buru pamitan diikuti kedua anak buahnya. Danilla berlaku sama sambil menggandeng Indy. Berry dengan mata yang memicing sudah tidak tahan untuk bertanya. 

“Lo kenal sama si kapten gagah itu, La? Kayanya tadi udah tatapan penuh arti gitu.” 

Danilla yang tadinya berjalan di depan terhenti lalu menatap mereka berdua yang ada di belakangnya. Indy menunggu jawaban Danilla dengan penasaran. 

“Langit mantan gue waktu SMA.” Danilla menyebutkan hal itu tanpa ekspresi apapun.

Sementara, Indy dan Berry tampak seperti penonton serial yang kaget pemeran utamanya mengungkap rahasia. 

“What a destiny!” Berry terkesima. Danilla sempat tertegun mendengar kata ‘destiny’, tetapi langsung tersenyum dengan canggung.

“Udah yuk, masuk. Trus kita makan, lapeeeer!” Danilla berusaha mengindahkan pembicaraan sambil menggandeng Indy kembali ke kamar. Indy hanya menatap Danilla dengan penasaran.

 

Danilla dan Indy berada di satu kamar mess yang sama. Keduanya masih terdiam sambil membereskan baju-bajunya ke lemari yang ada di kamar. Indy masih menatap Danilla dengan penasaran. 

“La, apa kalung awan itu dari kapten Langit?” 

Danilla terdiam sejenak hingga dia mengangguk pelan.

“Iya, Ndy.” Danilla hanya menjawabnya dengan singkat. 

“berarti lo masih…”

“Masih merasa bersalah.” Danilla menyambung dengan cepat keraguan dari pertanyaan Indy. 

“Kenapa La?”

“Ada salah paham antara kita yang gak bisa gue ceritain sama dia.” 

“Makanya dia se-dingin itu sama lo? Atau— dia hanya berusaha professional? 

“Gue ngga bisa tebak, tapi rasa kecewanya masih keliatan Ndy.”

“Gue ngga akan memaksa lo untuk cerita sekarang. Tapi, kesalahpahaman kalian udah terlalu lama, dan sebaiknya lo jujur atas apa yang terjadi.” Indy menepuk bahu Danilla lalu meninggalkannya ke kamar mandi.  

 

Danilla, Indy dan Berry masuk ke dalam sebuah ruang makan yang berada di mess. Beberapa anggota TNI AD juga terlihat makan disana. Danilla sempat menerawang ruangan mencari sosok yang familiar. Tetapi dia tidak ada. Hingga Indy dan Berry menariknya duduk di meja yang kosong.

“Lo pada enak tidur berdua, gue sendirian. Mana furniturenya serba cokelat. Serem tau!” Berry mengeluh kesal sambil mengaduk-aduk makanannya. 

“Maklumin lah Ber, kan ngga mungkin satu kamar bareng. Bukan muhrim.” Indy sambil memakan makanan yang kurang familiar di mulutnya. 

“Kenapa Ndy? Agak beda ya rasanya?” Danilla melihat Indy yang raut mukanya berubah. 

“Iya La, asin. Tapi dari tadi beberapa lauknya banyak kemangi sama rempahnya. Lo cocok?” 

Belum Danilla menjawab pertanyaan Indy, handphonenya berdering. Di layar handphonenya tertera nama Fikar Aldiano memanggil dengan mode video call padanya. Berry diam-diam melongok ke handphone Danilla.

“Ada yang lupa ngabarin pacarnya, buruan angkat!” 

Danilla tersenyum kesal, “Bentar ya guys!” Danilla keluar dari kantin untuk menerima telepon tersebut karena sinyal disana masih tipis-tipis. Danilla berdiri di koridor depan kantin sambil menghadapkan dirinya ke handphone dan menerima panggilan videocall itu.

“Halo Fikar.” 

“Hampir setengah hari kehilangan kontak, kamu belum lupa sama aku, kan?” Fikar dari kamarnya tampak bersandar di tempat tidurnya dengan wajah merengut. 

“Maafin aku, aku baru sempat beres-beres trus makan dulu, laper.  Kamu udah pulang?” 

“Udah dong, aku pengen buru-buru bisa videocall kamu. Syukur deh kalo kamu sampai dengan selamat. Kamu mau lanjutin makan?” 

Danilla mengangguk, “Iya, kita lanjut chat aja ya. Sinyal disini kurang bagus.” 

“Iya, tapi jangan lama-lama balesnya.” 

Danilla tersenyum dengan mengangguk lalu melambaikan tangan menyudahi panggilan tersebut. 

 

Danilla hendak kembali ke kantin, hingga kemudian Langit dan dua kopral ikut di belakangnya mau berjalan menuju ke kantin. Danilla dan Langit kembali bertatapan.

“Kalian duluan saja.” Langit berbicara ke kopral yang ikut dengannya. 

“Siap kapt.” Kedua kopral itu pergi dari sana. 

“Besok jam 7 pagi, tim dokter bersama tim saya ke rumah sakit bertemu dengan tim dokter lain. Jadi tolong bersiap sebelum jam 7.” Langit tetap berbicara dengan tegas dan pandangan kosong. 

“Baik, kapt.” Danilla mengangguk berusaha menyembunyikan perasaannya. Lalu dia menyentuh pipinya yang terasa gatal. Kemudian ke bagian lehernya. Langit yang masih berada di depannya melihat gelagat Danilla yang tidak biasa. 

“Dokter Danilla sudah makan ya?” 

“Iya, tadi lumayan banyak.”

“Bukannya kam—maksud saya, dokter, alergi ikan?”

Danilla cukup terkejut mendengar kalimat itu dari Langit.  Langit segera sadar juga kalau dia telah keceplosan. 

“Kalau ngga bisa makan ikan, jangan dipaksain. Dokter Danilla harus bertugas.  Saya permisi.” Langit buru-buru hilang dari pandangan Danilla dan masuk ke dalam kantin. 

 

Danilla ikutan masuk sambil memandangi Langit dari belakang. Lalu dia mengambil air minum yang ada di meja panjang sambil terdengar kalau Langit sedang berbicara dengan petugas di kantin. 

“Maaf bu, karena banyak pendatang, sebaiknya lauk ikan laut dikurangi, takutnya ada yang tidak cocok.” 

 

Danilla tertegun mendengar perkataan Langit yang memohon dengan sopan pada petugas kantin.  Dalam pikiran dan hatinya, dia masih terngiang kenangan bersama Langit yang agak sulit dilupakan olehnya. 

“Air kelapanya harus diminum ya, supaya alergi kamu cepet sembuh.” 

Di antara kenangan yang Danilla punya, ternyata hanya Langit yang mempunyai posisi tertinggi. Danilla tidak menyangka Langit akan berlaku sama seperti bertahun-tahun lalu. 

“Apa mungkin ini takdir?”